Jumat, 27 April 2018

Membaca Harari, Membaca Sejarah, Membaca Masa Depan

Oleh Ummi Salamah

... having raised humanity above the beastly level of survival struggles,
we will now aim to upgrade human into gods,
and turn Homo Sapiens into Homo Deus.
(Yuval Noah Harari, 2016)
 
Untuk Yuval Noah Harari, sejarah bukan ilmu tentang masa lalu. Profesor sejarah dari Hebrew University of Jerusalem ini menganggap sejarah adalah ilmu tentang perubahan. Oleh karena itu belajar sejarah berarti belajar membaca perubahan yang mampu memberikan insight tentang masa depan.
Homo Deus: A Brief History of Tomorrow adalah buku kedua Harari. Buku pertamanya berjudul Sapiens: A Brief History of Humankind (2014), sebuah bestseller yang melontarkan Harari ke panggung internasional. Selingan tentang status selebritas Harari, dalam satu kesempatan di World Economic Forum yang diselenggarakan di Davos, seorang pemimpin dunia mendatangi, menyapa dan menyalami Harari. Pemimpin tersebut mengaku sudah membaca buku karya Harari dan sangat terkesan. Ia adalah kanselir Jerman Angela Merkel. Dalam sebuah forum bersama Barrack Obama, Harari menjadi narasumber sementara sang mantan Presiden Amerika Serikat menjadi pembawa acara.
Bila buku pertama Harari adalah tentang sejarah dan bagaimana manusia dapat menjadi spesies yang sangat dominan di muka bumi ini, maka Homo Deus adalah sebuah intipan (sneak preview) tentang masa depan. Dengan gaya yang mengalir dan tenang, Harari mampu membenamkan pembacanya hingga larut menyatu dengan narasi yang sangat kaya dengan abstraksi. Tuturannya seperti teman yang mengajak kita berjalan – jalan ke tempat biasa dengan cara pandang yang tidak biasa. Setiap hal yang ditunjukkannya memiliki efek kejut yang dapat membuat pembaca meringis kecut, miris, tersenyum geli dan tertawa terbahak – bahak. Harari adalah teman perjalanan intelektual yang sangat menghibur dan menyenangkan meski ia memberikan gambaran agak muram tentang masa depan.     
Menurut Harari, sepanjang sejarahnya manusia menghadapi 3 (tiga) persoalan yang nyaris sama, yaitu: kelaparan, penyakit dan perang. Namun ketiga persoalan ini kini sudah menjadi masa lalu. Ironis, kini lebih banyak orang yang mati karena obesitas daripada kelaparan. Lebih banyak orang menderita karena kesepian dan depresi. Ada lebih banyak kasus bunuh diri ketimbang tewas akibat penyakit mematikan. Semua lengkap tersaji dengan angka – angka dan referensi.
Namun manusia tidak berhenti sampai dengan menghilangkan kelaparan, penyakit dan perang. Kini, manusia punya agenda yang lebih ambisius dan belum pernah terpikirkan sebelumnya. Target selanjutnya adalah kehidupan abadi (immortality), kebahagiaan (happiness) dan memiliki sifat – sifat ketuhanan (divinity). Keinginan ini tak terbendung berkat perkembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya biologi dan komputer, serta terapannya yaitu life science, ilmu saraf dan artificial intelligence (AI).
Manusia menjadi aras dari narasi dan abstraksi Harari. Ia membagi cerita dalam buku ini menjadi 3 (tiga) babak. Babak pertama dimulai dengan paparan mengenai kelebihan – kelebihan yang dimiliki manusia dan mengantarkannya untuk menaklukkan dunia, sebuah retrospeksi dari apa yang disampaikan dalam buku pertamanya Sapiens. Babak kedua mengungkap bagaimana manusia memberikan makna (meaning) kepada dunia. Dan babak ketiga ditutup dengan argumen tentang hilangnya kendali yang semula dimiliki manusia.  
Manusia menurut Harari memiliki 3 (tiga) realitas, yaitu realitas obyektif atau fisik; realitas subyektif yang terdiri dari sensasi dan emosi; dan realitas yang diimajinasikan (imagined reality). Kekuatan manusia yang membedakan spesies ini dengan hewan lainnya adalah kemampuan membangun kerjasama atau kolaborasi yang bertumpu pada imagined reality, yaitu kemampuan membangun fiksi berdasarkan imajinasi. Fiksi inilah yang membuat manusia bergerak bersama -  sama menjadi satu kekuatan yang layak diperhitungkan. Kekuatan uang misalnya adalah kekuatan sebuah cerita. Manusia mampu secara bersama – sama mengimajinasikan selembar kertas tak berharga menjadi punya nilai tukar. Imagined reality ini pula yang menjadikan ideologi dan agama sebagai kekuatan untuk menggerakkan manusia.    
Seperti ahli sejarah lainnya, Harari berpegang pada gelombang periodisasi. Tahapan peradaban manusia dibagi setidaknya menjadi 3 (tiga); tahap pertama manusia yang berserah diri pada kekuatan di luar dirinya; tahap kedua saat manusia memusatkan dunia pada dirinya; dan tahap ketiga dimana manusia kembali mengandalkan kekuatan di luar dirinya, yaitu mesin – mesin ciptaannya sendiri.
Harari sebenarnya tengah menantang prinsip dasar liberalisme yang mendasarkan diri pada 3 (tiga) asumsi dasar, yaitu:
  1. Individualisme – berbeda dengan keyakinan bahwa individu adalah undivided (tidak dapat dibagi lagi), ternyata individu terdiri dari diri (self) yang cenderung mengalami (experiencing self) dan berespon (narrating self) dan tidak selalu kompak
  2. Free will – organisme adalah algoritma yang terbentuk oleh gen (nature) dan tekanan lingkungan (nurture) dan cenderung mengambil keputusan secara deterministik atau acak (random), tidak bebas (free)   
  3. Inner self – algoritma eksternal dapat mengetahui diri lebih baik dari diri sendiri. Algoritma yang sama akan menggantikan fungsi inner self sebagai konsumen, pemilih dan penikmat seni. Algoritma will know best, will always be right and beauty will be in the calculations of the algorithm.  
Manusia tengah berada dalam bahaya kehilangan nilai dirinya. Selama ini manusia menjadi penting karena memiliki nilai ekonomi, politik dan militer. Nilai – nilai liberalisme mengagungkan manusia sebagai konsumen dan pemilih. Konsumen selalu benar (customer is always right) dan pemilih mengetahui yang terbaik (voters knew best) adalah adagium yang didengung – dengungkan sistem pasar liberal dan demokrasi. Namun dengan cerdik Harari menyatakan bahwa nilai yang mengagungkan individu dipicu oleh kebutuhan akan manusia sebagai sumberdaya saat perang. The Declaration of the Rights of Man and of the Citizens yang mengakui bahwa setiap warga negara memiliki nilai dan hak politik yang setara terbit pada 1793, saat Perancis diserang pasukan bangsawan Eropa yang hendak mematikan Revolusi Perancis sampai ke akar – akarnya. Karena pasukan yang memiliki kebebasan politik akan bertarung lebih baik daripada mereka yang diperintah oleh raja dan Tuhannya.      
Manusia kehilangan nilanya ketika kecerdasan (intelligence) dipisahkan dari kesadaran (conciousness). Dahulu kecerdasan tinggi berkorelasi erat dengan kesadaran tinggi. Dahulu mereka yang sadar yang dapat mengerjakan tugas – tugas yang membutuhkan kecerdasan tinggi seperti menyetir, bermain catur, mendiagnosa penyakit dan melacak teroris. Namun kini kecerdasan tanpa kesadaran dikembangkan, artificial intelligence makin berkembang namun artifical conciousness nyaris tak ada. Pertanyaan tentang mana yang lebih penting sayangnya mendapat jawaban dari korporasi maupun militer: intelligence is mandatory but conciousness is optional.     
Hasilnya adalah kecerdasan tanpa sensasi atau emosi. Driverless car, penggunaan algoritma dalam hampir semua bidang pekerjaan baik itu di bidang keuangan, kedokteran, penegakan hukum mejadikan pekerjaan lebih efektif dan efisien karena dilakukan tanpa distraksi. Pasar tenaga kerja untuk manusia mengalami ancaman serius.
Sejak Revolusi Industri, mekanisasi telah membuat banyak pekerjaan hilang. Namun hampir secara bersamaan, pekerjaan baru muncul. Namun pengalaman ini tidak dapat disamakan dengan apa yang akan terjadi ke depan. Selama ini manusia dianggap memiliki kelebihan ketimban mesin. Manusia memiliki kemampuan fisik dan kemampuan kognitif. Dahulu, mesin menggantikan manusia untuk tugas – tugas yang membutuhkan kemampuan fisik. Namun kini kemampuan kognitif manusia mulai tergantikan. Salah satu tonggak “kekalahan” manusia dari mesin dibuktikan pada 10 Februari 1996 ketika Deep Blue yang dikembangkan IBM mengalahkan Gary Kasparov dalam permainan catur. Manusia yang makin profesional dan memiliki pekerjaan yang makin terspesialisasi makin mudah tergantikan. Hanya pekerjaan yang membutuhkan daya analisis tinggi dan kurang efisien dilakukan mesin yang akan bertahan.
Tantangan ke depan terkait pekerjaan adalah: Bagaimana membuat pekerjaan dimana manusia akan menunjukkan kinerja yang lebih baik daripada mesin? Akan muncul kelas sosial baru yang terdiri dari orang – orang yang tidak memiliki nilai ekonomi, politik dan seni dan tidak berkontribusi pada kesejahteraan, kemajuan dan capaian masyarakat. Di sisi lain akan muncul kelompok elit yang memiliki kemampuan intelektual, fisik dan emosional yang tinggi karena pendekatan yang bersifat massal sudah tidak berlaku lagi.
Ke depan, sistem yang berjalan tetap akan membutuhkan manusia (human) tetapi tidak individu. Namun pemetaan mengenai kemampuan mental manusia masih jauh dari sempurna. Dalam psikologi, tantangan ini coba dijawab dengan berkembangnya psikologi positif yang fokus pada kekuatan mental, bukan gangguan mental. Namun kemampuan manusia yang berkembang sangat ditentukan oleh kekuatan politik dan pasar di masa depan. Saat ini misalnya, kemampuan berhitung jauh lebih dihargai daripada kemampuan indera penciuman yang sangat berkembang pada masa manusia masih menjadi pemburu dan penyimpan (hunter and gatherer).   
Dataisme adalah ideologi, bila bukan agama, yang akan berkembang ke depan. Janji akan adanya immortality, happiness, and divinity akan dipenuhi dengan kekuatan teknologi. Dan semuanya akan terwujud saat manusia masih ada di bumi, bukan setelah ia mati. Isme ini akan muncul dari Sillicon Valley, dengan setting lab riset. Ia merupakan anak dari perkawinan antara biologi sebagai ibu dan ilmu komputer sebagai ayah. Biologi memiliki peran yang lebih dominan karena dengan merangkul biologi, terobosan ilmu komputer mengubah kehidupan manusia.
Dalam dataisme, semesta adalah aliran data dan nilai sebuah fenomena atau entitas ditentukan oleh kontribusinya terhadap pemrosesan data. Data membuat ilmuwan memiliki bahasa bersama (common language) yang akan membuat akademisi dari seluruh disiplin ilmu dan seni memahami satu sama lain. Berbeda dengan posisi sebelumnya, data berada di urutan terbawah piramida belajar (pyramid of learning), yaitu data – informasi – pengetahuan (knowledge) – kebijaksanaan (wisdom). Dataisme meyakini bahwa ada begitu banyak data yang tidak mungkin diolah menjadi informasi, apalagi pengetahuan dan kebijaksanaan. Data cukup diproses dengan mengunakan algoritma komputer yang mengolah Big Data.
Dalam pandangan ini, kapitalisme dan komunisme misalnya, bukan merupakan ideologi yang saling bersaing. pada dasarnya keduanya adalah sistem pemrosesan data. Kapitalisme menggunakan pemrosesan data terdistribusi (distributed), sementara komunisme menggunakan pemrosesan data terpusat (centralized). Kapitalisme tidak mengalahkan komunisme karena ia lebih etis atau karena kebebasan individu adalah sesuatu yang sakral. Namun karena pemrosesan data secara terdistribusi lebih baik ketimbang secara terpusat. Ketika data terpusat pada segelintir orang, bom nuklir dapat diproduksi namun tidak akan ada Apple atau Wikipedia.
Kecepatan perkembangan teknologi saat ini akan membuat pemerintahan mana pun merasa gamang. Regulasi terhadap internet sulit untuk dilakukan karena jaringan ini semakin dominan dalam kehidupan. Sementara pengaturan dan pembatasan sebaiknya dilakukan saat masih ada dalam tahapan konsepsi. Namun kondisi ini masih lebih baik ketimbang mencampurkan kekuatan teknologi dengan politik megalomaniak yang menjadi resep mujarab untuk bencana. Kekosongan kekuasaan yang terjadi, dimana pemerintah tidak lagi mampu meramalkan apa yang terjadi 20 tahun ke depan akan diisi oleh struktur yang samasekali baru. Bila manusia tidak lagi mampu memenuhi tugas ini, akan ada pihak lain yang melakukannya.
Dataisme memiliki 2 (dua) fatsun, yaitu: Pertama, memaksimalkan aliran data dengan berhubungan dengan makin banyak media, memproduksi dan mengonsumsi kian banyak informasi. Kedua, menghubungkan semua ke dalam sistem. Semua yang dimaksud adalah semua, termasuk – hal di luar manusia. Oleh karena itu, kebebasan informasi adalah hal yang paling berharga dan dijaga “agama” ini.  
Apa yang akan terjadi pada manusia ketika dataisme mendominasi? Manusia bisa jadi mendapat perlakuan seperti halnya hewan yang mengalami eksploitasi. Namun Harari mengingatkan bahwa semua ini adalah probabilita, bukan prediksi.
3 (tiga) pertanyaan yang perlu dicamkan dalam benak kita yang akan menentukan apa yang akan terjadi di masa depan:
  1. Apakah organisme hanya algoritma dan hidup ini hanya pemrosesan data?
  2. Manakah yang lebih berharga, kecerdasan atau kesadaran?
  3. Apa yang akan terjadi pada masyarakat, politik dan kehidupan sehari – hari saat algoritma yang cerdas namun tidak memiliki kesadaran mengetahui tentang kita jauh lebih baik dari diri kita sendiri?
Ketiga pertanyaan ini tentu bukan pertanyaan yang mudah dijawab oleh semua. Selamat berdiskusi.

Kukusan, 28 April 2018 

Jumat, 21 Agustus 2015

Kebahagiaan dan Faktor - Faktor Eksternal: Uang dan Iklim


Bila Anda tengah berencana untuk berbahagia, tentu ada faktor-faktor di luar diri kita sendiri yang perlu diketahui demi membantu tercapainya kebahagiaan. Sebelum gerakan psikologi positif merebak pada awal millenium ini, ternyata sudah ada beberapa riset serius tentang kebahagiaan. Sayangnya riset-riset ini kemudian terhenti pada tahun 1967.

Seligman dalam Authentic Happiness merangkum dan membeberkan peran faktor-faktor yang dianggap memiliki hubungan dengan kebahagiaan dan akurasi hubungan tersebut. Faktor-faktor hasil penelitian lawas tadi  adalah: penghasilan yang bagus (baca: uang), menikah, muda, sehat, berpendidikan tinggi dan relijius. Satu catatan penting, tingkat kecerdasan sejak dulu dianggap tidak memiliki hubungan dengan kebahagiaan. Tak heran, hingga kini belum ada penelitian yang mencoba meneliti kembali hubungan langsung antara kebahagiaan dengan kecerdasan.

Ternyata, tidak semua faktor yang disebut di atas terbukti memiliki hubungan dengan kebahagiaan. Uang misalnya. Perekonomian suatu negara yang diukur dengan indeks GNP (Gross National Product) sekilas memiliki hubungan erat dengan tingkat kepuasan hidup (life satisfaction index). Artinya, semakin maju sebuah negara, warganya akan merasa lebih bahagia. Namun begitu  pendapatan sebuah negara menyentuh angka $8.000 per kapita, korelasi tersebut justru menghilang. Kekayaan yang bertambah tidak berbanding lurus dengan kebahagiaan yang dirasakan.

Warga Swiss memang lebih berbahagia dibandingkan dengan Bulgaria yang lebih miskin. Tapi kecenderungan ini justru tidak berlaku untuk Jepang yang notabene termasuk negara kaya. Daya beli warga Amerika Serikat, Perancis dan Jepang selama 50 tahun terakhir telah naik dua kali lipat, tetapi tidak demikian halnya dengan kepuasan hidup yang mereka rasakan. Ternyata berlaku the law of diminishing return untuk hubungan antara uang dan kebahagiaan. Sampai di titik tertentu, uang dapat membuat orang lebih bahagia. Namun tambahan uang tidak berarti tambahan untuk rasa bahagia yang dimiliki.

Perihal hubungan uang dan kebahagiaan ternyata terkait dengan iklim. Saya ingat, beberapa sahabat sempat membahas mengenai hubungan kebahagiaan dengan iklim via Facebook. Tidak ada keraguan samasekali bahwa cuaca secara umum yang dikenal dengan istilah iklim mempengaruhi fisik dan psikis manusia. Namun apa kaitan iklim dengan kebahagiaan?

Fischer & Vlient menuliskan hasil penelitian mereka dalam artikel berjudul Does Climate Undermine Subjective Well-being? A 58 Nations Study yang dimuat dalam Personality & Social Psychology Bulletin tahun 2011. Iklim yang cenderung ekstrim, lebih panas atau lebih dingin, akan menyulitkan individu  memelihara suhu tubuh normal di angka 37 derajat Celcius. Namun sumberdaya ekonomi (baca: uang) yang mencukupi akan membuat individu mampu memenuhi tuntutan fisik dan mendapatkan cukup tantangan untuk pengembangan dirinya. Sebaliknya, tuntutan iklim ekstrim yang harus dihadapi di tengah kekurangan sumberdaya ekonomi akan meningkatkan tekanan hidup. Ujung-ujungnya, muncul masalah kesehatan, kelelahan, kecemasan dan bahkan depresi.

Hubungan lagsung antara iklim dengan kebahagiaan cenderung tidak terbukti karena tingkat kebahagiaan bervariasi tanpa memandang perbedaan iklim. Namun ada beberapa faktor antara, seperti sumberdaya ekonomi tadi, yang dapat menentukan tingkat kebahagiaan mereka yang tinggal di negara dengan iklim yang ekstrim. Memang terdapat kasus yang muncul secara musiman, misalnya depresi yang terasa hanya pada musim salju (winter depression) yang kemudian memicu gelombang migrasi sementara warga di negara yang mengalami musim dingin ke negara-negara yang lebih hangat.  Namun secara umum tubuh dan jiwa manusia relatif mampu beradaptasi dengan iklim tempat tinggalnya.

Senin, 17 Agustus 2015

Mereka yang Berbahagia



Seperti apa orang yang berbahagia? Apa ciri-ciri yang mereka miliki?Sebuah penelitian awal yang membandingkan orang-orang yang berbahagia dengan yang tidak pernah dilakukan Diener dan Seligman pada tahun 2002. Hasilnya ditulis dalam Psychological Science dengan tajuk 'Very Happy People'.

Ternyata orang yang berbahagia adalah mereka yang lebih suka bergaul, punya hubungan sosial dan hubungan cinta yang kuat, lebih terbuka dan beorientasi pada orang lain. Selain itu, kebahagiaan juga membuat mereka lebih senang membantu, ramah, pemaaf dan penyayang.

Orang yang bahagia bukan mereka yang pencemas dan biasanya memiliki skor yang rendah dalam tes yang mengukur gangguan psikis. Tes macam ini bisa bermacam-macam, salah satunya adalah Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI) yang sering digunakan psikiater untuk mengidentifikasi gangguan jiwa. Jadi, kebahagiaan ditandai dengan ketiadaan gangguan jiwa. 

Bila digali lebih lanjut, ternyata tidak ada penyebab tunggal bagi  kebahagiaan seseorang. Namun mereka yang berbahagia umumnya memiliki hubungan yang baik dengan orang lain. Mereka seringkali memiliki emosi yang positif, tetapi tidak berlebihan. Kadang mereka juga mengalami emosi negatif, menunjukkan bahwa orang yang berbahagia  mampu bereaksi secara wajar terhadap peristiwa yang dihadapi dalam hidup. Kehilangan akan memicu kesedihan. Bahaya dan ancaman akan menimbulkan rasa takut. Harapan yang terpenuhi akan membuahkan rasa senang.

Namun yang masih jadi misteri adalah hubungan sebab akibat dari kebahagiaan. Apakah memiliki banyak teman menjadikan seseorang bahagia, atau sebaliknya, seseorang yang berbahagia akan menarik banyak teman? Ada beberapa penelitian lanjutan yang berusaha menjawab pertanyaan ini. Apalagi penelitian ini masih merupakan upaya awal menggali karakteristik orang yang berbahagia.

Apakah Anda termasuk mereka yang berbahagia? Mudah-mudahan ya. Bila belum, mungkin kebahagiaan bisa dimulai dengan meningkatkan kuantitas dan kualitas hubungan Anda dengan orang lain.

Salam kebahagiaan...

Kamis, 13 Agustus 2015

Tentang Kebahagiaan

Pertanyaan pertama yang perlu dijawab dalam blog ini adalah apakah kebahagiaan (happiness) itu? Banyak pihak yang pernah melakukan eksplikasi terhadap konsep kebahagiaan. Sejak zaman Yunani, kebahagiaan sudah menjadi obyek studi para filsuf dan akademisi. Sampai hari ini pun konsep kebahagiaan masih menyisakan misteri dan belum akan jadi basi. Beberapa pemikiran tentang kebahagiaan akan dikutip dan dibahas dalam tulisan serial dalam blog ini.

Secara pribadi saya sangat tertarik mengangkat konsep kebahagiaan menurut Abu Hamid al – Ghazali (1058 – 1128), seorang filsuf Islam yang banyak menulis tentang kebahagiaan. Konsep ini terutama tertuang dalam bukunya The Alchemy of Happiness yang merupakan versi pendek dari karya monumental berjudul Revival of the Religious Sciences

Menurut al – Ghazali, kebahagiaan bersifat spiritual. Manusia lahir dengan ‘rasa sakit dalam jiwa’ yang bersifat bawaan. Ada sesuatu yang hilang dan harus dicari jawabnya dalam titik – titik perjalanan hidup. Karena rasa sakit inilah kita terus mencari kebahagiaan. Beberapa orang mencarinya dalam kesenangan fisik seperti makan enak, minum nikmat dan tidur nyenyak. Beberapa menemukannya pada pencarian ilmu pengetahuan dan imajinasi yang tertuang dalam karya.

Namun rasa sakit yang dirasakan sebenarnya merupakan sebentuk tanya spiritual yang harus dijawab juga dalam jawab spiritual. Manusia membutuhkan makna dan rasa sebagai bagian dari semesta alam raya. Kebahagiaan yang tertinggi adalah kebahagiaan karena terhubung dengan Tuhan. Rasa bahagia ditemukan pada pencarian akan kebenaran. Dan kebenaran yang hakiki hanya didapat dari Zat yang Maha Benar.    

Orang yang paling bahagia menurut al – Ghazali adalah orang memahami dirinya sendiri (self – knowledge). Diri terdiri dari 2 (dua), yaitu: jasad dan ruh. Memahami diri sendiri berarti mengetahui bahwa tidak hanya kebutuhan lahir saja yang harus dipenuhi. Kebutuhan batin untuk memperkaya ruh juga diperlukan untuk mendapatkan hidup yang bahagia. Seperti tubuh, jiwa juga harus dipelihara dan dibersihkan dari nafsu dan keinginan yang membuat ‘cermin hati’ menjadi kotor dan buram.   


Sampai disini, konsep kebahagiaan seakan terbagi menjadi 2 (dua); duniawi – akhirati, lahir – batin; jasad – ruh; fisik – metafisik. Polaritas ini akan cenderung terlihat dalam perkembangan studi tentang kebahagiaan kontemporer yang secara umum membelah kebahagiaan menjadi 2 (dua), yaitu hedonisme dan eudaimonia. Beberapa literatur membedakan kebahagiaan dengan kesenangan. Kesenangan memerlukan hal – hal yang bersifat material sementara kebahagiaan tidak. Kebahagiaan yang bersumber dari materi bersifat semu sementara yang nyata adalah kebahagiaan jiwa yang tidak terikat dengan benda – benda.  

Psikologi Kebahagiaan

Adalah Bhutan, sebuah kerajaan kecil di Asia Selatan yang diapit negara-negara besar seperti China dan India. Kerajaan yang tidak memiliki wilayah laut ini juga berbatasan dengan Nepal dan Bhangladesh. Pemandangan alam Himalaya Timur nan cantik dan kekayaan budaya membuat Bhutan mampu menarik turis untuk datang berkunjung. Namun bukan hanya itu yang membuat Bhutan istimewa. Negara ini merupakan pelopor dan menjadi satu-satunya negara yang ke mengukur kebahagiaan warganya.

Bhutan mulai mengukur Gross National Happiness Index sejak tahun 1972. Langkah ini memberikan inspirasi untuk mengusung 'kebahagiaan' sebagai sebuah gerakan politik. Puncaknya adalah resolusi PBB yang menjadikan 'kebahagiaan' sebagai agenda pembangunan global. Mengapa kebahagiaan?

Salah satu pemicu munculnya kebutuhan untuk mengukur kebahagiaan adalah kekurangpuasan terhadap indikator makro yang digunakan sebagai tolok ukur kemajuan. Selama ini Gross Domestic Product (GDP) adalah indikator utama kemajuan satu negara. Meski masih digunakan hingga saat ini, indikator GDP dianggap kurang mampu merekam aspek-aspek 'manusia' dalam indikator pembangunan suatu negara. Keresahan ini sebenarnya sudah lama dirasakan dan coba dijawab dengan indikator Human Development Index (HDI) yang mengukur capaian dari aspek kualitas manusia, yaitu pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan. Namun indikator ini pun dirasa kurang karena belum mencakup aspek yang sangat erat dan khas manusia, yaitu aspek emosional yang bersifat subyektif. Paradigma ekonomi yang berbasis pada kebahagiaan dipercaya lebih terjaga secara jangka panjang.

Gerakan yang mengusung 'kebahagiaan' sejatinya menguat dan bersumber dari reformasi dalam psikologi sebagai disiplin ilmu maupun profesi. Pada tahun 2009, Prof Martin Seligman menggagas sebuah temu ilmiah dunia tentang psikologi positif. Psikologi positif menggugat kecenderungan psikologi untuk menjadi 'bengkel' yang fokus pada penanganan masalah - masalah perilaku. Psikologi sebagai ilmu mengenai perilaku manusia laiknya justru merupakan studi saintifik tentang optimalisasi fungsi manusia. Tujuan gerakan psikologi positif adalah menemukan dan mengembangkan faktor-faktor yang mendorong kemajuan, bukan saja untuk tataran individu, tetapi juga komunitas (Seligman & Csikszentzmihalyi, 2000).

Gerakan ini tidak hanya mengubah haluan psikologi dalam teori maupun praktek. Psikologi positif juga menjadi titik awal terbukanya pendekatan psikologi yang lebih multidisiplin bergandengan dengan ekonomi, sosiologi, kebijakan publik, filsafat, pendidikan untuk menyebut beberapa. Konsep yang menjadi perekat antara psikologi dan disiplin ilmu lainnya adalah 'kebahagiaan'.

Tulisan-tulisan dalam blog ini didedikasikan untuk membahas psikologi positif, khususnya konsep kebahagiaan (happiness). Semoga kehadirannya mampu memberikan kebahagiaan bagi pembacanya karena kebahagiaan pula yang menjadi alasan sekaligus tujuan dari penulisnya. Have a good life, eudaimonia...