Pertanyaan pertama yang
perlu dijawab dalam blog ini adalah apakah kebahagiaan (happiness) itu? Banyak pihak yang pernah melakukan eksplikasi terhadap
konsep kebahagiaan. Sejak zaman Yunani, kebahagiaan sudah menjadi obyek studi
para filsuf dan akademisi. Sampai hari ini pun konsep kebahagiaan masih
menyisakan misteri dan belum akan jadi basi. Beberapa pemikiran tentang
kebahagiaan akan dikutip dan dibahas dalam tulisan serial dalam blog ini.
Secara pribadi saya
sangat tertarik mengangkat konsep kebahagiaan menurut Abu Hamid al – Ghazali
(1058 – 1128), seorang filsuf Islam yang banyak menulis tentang kebahagiaan.
Konsep ini terutama tertuang dalam bukunya The
Alchemy of Happiness yang merupakan versi pendek dari karya monumental berjudul
Revival of the Religious Sciences.
Menurut al – Ghazali,
kebahagiaan bersifat spiritual. Manusia lahir dengan ‘rasa sakit dalam jiwa’
yang bersifat bawaan. Ada sesuatu yang hilang dan harus dicari jawabnya dalam
titik – titik perjalanan hidup. Karena rasa sakit inilah kita terus mencari
kebahagiaan. Beberapa orang mencarinya dalam kesenangan fisik seperti makan enak,
minum nikmat dan tidur nyenyak. Beberapa menemukannya pada pencarian ilmu
pengetahuan dan imajinasi yang tertuang dalam karya.
Namun rasa sakit yang
dirasakan sebenarnya merupakan sebentuk tanya spiritual yang harus dijawab juga
dalam jawab spiritual. Manusia membutuhkan makna dan rasa sebagai bagian dari
semesta alam raya. Kebahagiaan yang tertinggi adalah kebahagiaan karena terhubung
dengan Tuhan. Rasa bahagia ditemukan pada pencarian akan kebenaran. Dan
kebenaran yang hakiki hanya didapat dari Zat yang Maha Benar.
Orang yang paling bahagia
menurut al – Ghazali adalah orang memahami dirinya sendiri (self – knowledge). Diri terdiri dari 2
(dua), yaitu: jasad dan ruh. Memahami diri sendiri berarti mengetahui bahwa
tidak hanya kebutuhan lahir saja yang harus dipenuhi. Kebutuhan batin untuk
memperkaya ruh juga diperlukan untuk mendapatkan hidup yang bahagia. Seperti
tubuh, jiwa juga harus dipelihara dan dibersihkan dari nafsu dan keinginan yang
membuat ‘cermin hati’ menjadi kotor dan buram.
Sampai disini, konsep
kebahagiaan seakan terbagi menjadi 2 (dua); duniawi – akhirati, lahir – batin;
jasad – ruh; fisik – metafisik. Polaritas ini akan cenderung terlihat dalam perkembangan
studi tentang kebahagiaan kontemporer yang secara umum membelah kebahagiaan menjadi
2 (dua), yaitu hedonisme dan eudaimonia. Beberapa literatur
membedakan kebahagiaan dengan kesenangan. Kesenangan memerlukan hal – hal yang
bersifat material sementara kebahagiaan tidak. Kebahagiaan yang bersumber dari
materi bersifat semu sementara yang nyata adalah kebahagiaan jiwa yang tidak terikat
dengan benda – benda.
Sadaaap, mantab mbak Umi
BalasHapus