Jumat, 21 Agustus 2015

Kebahagiaan dan Faktor - Faktor Eksternal: Uang dan Iklim


Bila Anda tengah berencana untuk berbahagia, tentu ada faktor-faktor di luar diri kita sendiri yang perlu diketahui demi membantu tercapainya kebahagiaan. Sebelum gerakan psikologi positif merebak pada awal millenium ini, ternyata sudah ada beberapa riset serius tentang kebahagiaan. Sayangnya riset-riset ini kemudian terhenti pada tahun 1967.

Seligman dalam Authentic Happiness merangkum dan membeberkan peran faktor-faktor yang dianggap memiliki hubungan dengan kebahagiaan dan akurasi hubungan tersebut. Faktor-faktor hasil penelitian lawas tadi  adalah: penghasilan yang bagus (baca: uang), menikah, muda, sehat, berpendidikan tinggi dan relijius. Satu catatan penting, tingkat kecerdasan sejak dulu dianggap tidak memiliki hubungan dengan kebahagiaan. Tak heran, hingga kini belum ada penelitian yang mencoba meneliti kembali hubungan langsung antara kebahagiaan dengan kecerdasan.

Ternyata, tidak semua faktor yang disebut di atas terbukti memiliki hubungan dengan kebahagiaan. Uang misalnya. Perekonomian suatu negara yang diukur dengan indeks GNP (Gross National Product) sekilas memiliki hubungan erat dengan tingkat kepuasan hidup (life satisfaction index). Artinya, semakin maju sebuah negara, warganya akan merasa lebih bahagia. Namun begitu  pendapatan sebuah negara menyentuh angka $8.000 per kapita, korelasi tersebut justru menghilang. Kekayaan yang bertambah tidak berbanding lurus dengan kebahagiaan yang dirasakan.

Warga Swiss memang lebih berbahagia dibandingkan dengan Bulgaria yang lebih miskin. Tapi kecenderungan ini justru tidak berlaku untuk Jepang yang notabene termasuk negara kaya. Daya beli warga Amerika Serikat, Perancis dan Jepang selama 50 tahun terakhir telah naik dua kali lipat, tetapi tidak demikian halnya dengan kepuasan hidup yang mereka rasakan. Ternyata berlaku the law of diminishing return untuk hubungan antara uang dan kebahagiaan. Sampai di titik tertentu, uang dapat membuat orang lebih bahagia. Namun tambahan uang tidak berarti tambahan untuk rasa bahagia yang dimiliki.

Perihal hubungan uang dan kebahagiaan ternyata terkait dengan iklim. Saya ingat, beberapa sahabat sempat membahas mengenai hubungan kebahagiaan dengan iklim via Facebook. Tidak ada keraguan samasekali bahwa cuaca secara umum yang dikenal dengan istilah iklim mempengaruhi fisik dan psikis manusia. Namun apa kaitan iklim dengan kebahagiaan?

Fischer & Vlient menuliskan hasil penelitian mereka dalam artikel berjudul Does Climate Undermine Subjective Well-being? A 58 Nations Study yang dimuat dalam Personality & Social Psychology Bulletin tahun 2011. Iklim yang cenderung ekstrim, lebih panas atau lebih dingin, akan menyulitkan individu  memelihara suhu tubuh normal di angka 37 derajat Celcius. Namun sumberdaya ekonomi (baca: uang) yang mencukupi akan membuat individu mampu memenuhi tuntutan fisik dan mendapatkan cukup tantangan untuk pengembangan dirinya. Sebaliknya, tuntutan iklim ekstrim yang harus dihadapi di tengah kekurangan sumberdaya ekonomi akan meningkatkan tekanan hidup. Ujung-ujungnya, muncul masalah kesehatan, kelelahan, kecemasan dan bahkan depresi.

Hubungan lagsung antara iklim dengan kebahagiaan cenderung tidak terbukti karena tingkat kebahagiaan bervariasi tanpa memandang perbedaan iklim. Namun ada beberapa faktor antara, seperti sumberdaya ekonomi tadi, yang dapat menentukan tingkat kebahagiaan mereka yang tinggal di negara dengan iklim yang ekstrim. Memang terdapat kasus yang muncul secara musiman, misalnya depresi yang terasa hanya pada musim salju (winter depression) yang kemudian memicu gelombang migrasi sementara warga di negara yang mengalami musim dingin ke negara-negara yang lebih hangat.  Namun secara umum tubuh dan jiwa manusia relatif mampu beradaptasi dengan iklim tempat tinggalnya.

0 komentar:

Posting Komentar