Tampilkan postingan dengan label Psikologi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Psikologi. Tampilkan semua postingan

Kamis, 13 Agustus 2015

Tentang Kebahagiaan

Pertanyaan pertama yang perlu dijawab dalam blog ini adalah apakah kebahagiaan (happiness) itu? Banyak pihak yang pernah melakukan eksplikasi terhadap konsep kebahagiaan. Sejak zaman Yunani, kebahagiaan sudah menjadi obyek studi para filsuf dan akademisi. Sampai hari ini pun konsep kebahagiaan masih menyisakan misteri dan belum akan jadi basi. Beberapa pemikiran tentang kebahagiaan akan dikutip dan dibahas dalam tulisan serial dalam blog ini.

Secara pribadi saya sangat tertarik mengangkat konsep kebahagiaan menurut Abu Hamid al – Ghazali (1058 – 1128), seorang filsuf Islam yang banyak menulis tentang kebahagiaan. Konsep ini terutama tertuang dalam bukunya The Alchemy of Happiness yang merupakan versi pendek dari karya monumental berjudul Revival of the Religious Sciences

Menurut al – Ghazali, kebahagiaan bersifat spiritual. Manusia lahir dengan ‘rasa sakit dalam jiwa’ yang bersifat bawaan. Ada sesuatu yang hilang dan harus dicari jawabnya dalam titik – titik perjalanan hidup. Karena rasa sakit inilah kita terus mencari kebahagiaan. Beberapa orang mencarinya dalam kesenangan fisik seperti makan enak, minum nikmat dan tidur nyenyak. Beberapa menemukannya pada pencarian ilmu pengetahuan dan imajinasi yang tertuang dalam karya.

Namun rasa sakit yang dirasakan sebenarnya merupakan sebentuk tanya spiritual yang harus dijawab juga dalam jawab spiritual. Manusia membutuhkan makna dan rasa sebagai bagian dari semesta alam raya. Kebahagiaan yang tertinggi adalah kebahagiaan karena terhubung dengan Tuhan. Rasa bahagia ditemukan pada pencarian akan kebenaran. Dan kebenaran yang hakiki hanya didapat dari Zat yang Maha Benar.    

Orang yang paling bahagia menurut al – Ghazali adalah orang memahami dirinya sendiri (self – knowledge). Diri terdiri dari 2 (dua), yaitu: jasad dan ruh. Memahami diri sendiri berarti mengetahui bahwa tidak hanya kebutuhan lahir saja yang harus dipenuhi. Kebutuhan batin untuk memperkaya ruh juga diperlukan untuk mendapatkan hidup yang bahagia. Seperti tubuh, jiwa juga harus dipelihara dan dibersihkan dari nafsu dan keinginan yang membuat ‘cermin hati’ menjadi kotor dan buram.   


Sampai disini, konsep kebahagiaan seakan terbagi menjadi 2 (dua); duniawi – akhirati, lahir – batin; jasad – ruh; fisik – metafisik. Polaritas ini akan cenderung terlihat dalam perkembangan studi tentang kebahagiaan kontemporer yang secara umum membelah kebahagiaan menjadi 2 (dua), yaitu hedonisme dan eudaimonia. Beberapa literatur membedakan kebahagiaan dengan kesenangan. Kesenangan memerlukan hal – hal yang bersifat material sementara kebahagiaan tidak. Kebahagiaan yang bersumber dari materi bersifat semu sementara yang nyata adalah kebahagiaan jiwa yang tidak terikat dengan benda – benda.  

Psikologi Kebahagiaan

Adalah Bhutan, sebuah kerajaan kecil di Asia Selatan yang diapit negara-negara besar seperti China dan India. Kerajaan yang tidak memiliki wilayah laut ini juga berbatasan dengan Nepal dan Bhangladesh. Pemandangan alam Himalaya Timur nan cantik dan kekayaan budaya membuat Bhutan mampu menarik turis untuk datang berkunjung. Namun bukan hanya itu yang membuat Bhutan istimewa. Negara ini merupakan pelopor dan menjadi satu-satunya negara yang ke mengukur kebahagiaan warganya.

Bhutan mulai mengukur Gross National Happiness Index sejak tahun 1972. Langkah ini memberikan inspirasi untuk mengusung 'kebahagiaan' sebagai sebuah gerakan politik. Puncaknya adalah resolusi PBB yang menjadikan 'kebahagiaan' sebagai agenda pembangunan global. Mengapa kebahagiaan?

Salah satu pemicu munculnya kebutuhan untuk mengukur kebahagiaan adalah kekurangpuasan terhadap indikator makro yang digunakan sebagai tolok ukur kemajuan. Selama ini Gross Domestic Product (GDP) adalah indikator utama kemajuan satu negara. Meski masih digunakan hingga saat ini, indikator GDP dianggap kurang mampu merekam aspek-aspek 'manusia' dalam indikator pembangunan suatu negara. Keresahan ini sebenarnya sudah lama dirasakan dan coba dijawab dengan indikator Human Development Index (HDI) yang mengukur capaian dari aspek kualitas manusia, yaitu pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan. Namun indikator ini pun dirasa kurang karena belum mencakup aspek yang sangat erat dan khas manusia, yaitu aspek emosional yang bersifat subyektif. Paradigma ekonomi yang berbasis pada kebahagiaan dipercaya lebih terjaga secara jangka panjang.

Gerakan yang mengusung 'kebahagiaan' sejatinya menguat dan bersumber dari reformasi dalam psikologi sebagai disiplin ilmu maupun profesi. Pada tahun 2009, Prof Martin Seligman menggagas sebuah temu ilmiah dunia tentang psikologi positif. Psikologi positif menggugat kecenderungan psikologi untuk menjadi 'bengkel' yang fokus pada penanganan masalah - masalah perilaku. Psikologi sebagai ilmu mengenai perilaku manusia laiknya justru merupakan studi saintifik tentang optimalisasi fungsi manusia. Tujuan gerakan psikologi positif adalah menemukan dan mengembangkan faktor-faktor yang mendorong kemajuan, bukan saja untuk tataran individu, tetapi juga komunitas (Seligman & Csikszentzmihalyi, 2000).

Gerakan ini tidak hanya mengubah haluan psikologi dalam teori maupun praktek. Psikologi positif juga menjadi titik awal terbukanya pendekatan psikologi yang lebih multidisiplin bergandengan dengan ekonomi, sosiologi, kebijakan publik, filsafat, pendidikan untuk menyebut beberapa. Konsep yang menjadi perekat antara psikologi dan disiplin ilmu lainnya adalah 'kebahagiaan'.

Tulisan-tulisan dalam blog ini didedikasikan untuk membahas psikologi positif, khususnya konsep kebahagiaan (happiness). Semoga kehadirannya mampu memberikan kebahagiaan bagi pembacanya karena kebahagiaan pula yang menjadi alasan sekaligus tujuan dari penulisnya. Have a good life, eudaimonia...